Tradisi tutur yang merupakan
tradisi tertua yang ada di muka bumi sekaligus tradisi yang menjaga keberadaan
sebuah budaya dengan mencirikan bahasanya. Begitu juga dengan tradisi tutur di
Minangkabau yang menjadikan masyarakat ini tetap memegang teguh tradisi dengan
tradisi tutur dan juga tambo sebagai acuan.
Namun keberadaan tradisi ini mulai terkikis dengan
berkembangnya teknologi yang menjadikan masyarakat lebih tertarik mendengarkan
radio dan televisi sebagai bagian dari budaya atau tradisi tutur itu sendiri
yang di dalamnya banyak pengaruh budaya luar yang menjadikan cara pandang
masyarakat tradisi terbatas dalam bersikap dan meyakini sesuatu yang
berdasarkan tradisi dan norma yang terkandung dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Seperti halnya cara berbicara yang notabene ke-inggri-ingris-an,
atau bagi mereka yang tinggal di daerah yang belum berkembang mencoba menyadur
pola hidup dan cara bersosial yang kekotaan yang sudah barang tentu tidak cocok
dengan pola hidup masyarakat pedesaan atau perkampungan. Hal ini tentu
mengakibatkan berkurangnya minat masyarakat untuk lebih mendalami nilai, norma
dan tradisi yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, baik itu secara individu
bagi yang ingin mendalaminya sebagai suatu karya cipta seni maupun bagi
golongan yang sepantasnya mewarisi budaya dan tradisi tersebut dan berpandangan
bahwa tradisi ini sangat berkaitan dengan kebudayaan yang kita punya serta
kebanggaan yang kita miliki sebagai bangsa yang berbeda-beda tetapi tetap dalam
satu negara kesatuan, Indonesia.
Dari seluruh suku dan budaya
di Indonesia terdapat kurang lebih 400 macam bahasa dan budaya berikut dengan
latar belakang masing-masing serta
kesenian yang ada , huruf, sastra dan dialeknya. Diantara semua yang ada
mungkin hanya beberapa yang kita kenal sebagai bahasa dan budya nusantara.
Misalnya budaya Intootn yang ada di provinsi Kalimantan Timur Kabupaten Kutai Barat
tepatnya di kampung Bigung Baru Kecamatan Linggang Bigung, yakni tradisi tutur
cerita rakyat daerah setempat, tentu merupakan suatu wacana baru dalam
pengetahuan kita. Ini karena terbatasnya pengetahuan yang diberikan atau media
yang mampu untuk menunjang kita agar tahu ragam bahasa dan budaya yang ada di
nusantara. Begitu juga tradisi yang ada di Minangkabau yang sangat kental
dengan kebudayaan serta hukum tradisi yang menjadi pegangan dalam hidup
masyarakat Minangkabau. Umumnya tradisi ini berupa lisan dan hanya sebagian
kecil yang sudah didokumentasikan dalam bentuk buku atau rekaman audio dan
visual atau keduanya. Pencatatn tradisi lisan ini dimulai pada abad ke-19 oleh
bangsa Belanda yang mempunyai dalam bidang sastra lisan dan seni tutur.
Sebagian dari pembukuan tersebut diterbitkan, namun dalam bahasa Belanda yang
tentu hanya mudah dipahami oleh bangsa Belanda atau mereka yang mendalami
bahasa Belanda, sebagian lainya masih tersimpan berupa naskah-naskah yang
tersimpan di perpustakaan di Universitas Leiden Belanda. Djamil Bakar berhasil
membukukan salah satu bentuk tradisi lisan berupa kaba yang dibukukan dalam
buku berjudul “ Kaba Minangkabau I dan II” tahun 1979, dan Sastra lisan
Minangkabau pada tahun 1981 yang
berisikan Petatah-Petitih, Pantun dan Mantra yang penelitian ini disponsori
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, serta beberapa buku lainnya yang hanya di miliki oleh kalangan
terbatas dan tidak disebar luaskan pada masyarakat umum, khususnya masyarakat
Minangkabau.
Tradisi lisan bagi masyarakat
Minangkabau merupakan bentuk ekspresi budaya, yang di dalamnya terkandung hukum
yang menjadi acuan utama bagi masyarakat Minangkabau dalam tata cara
berperilaku dan bermasyarakat. Seperti halnya Bakaba yang merupakan tradisi
tutur yang berbentuk penuturan cerita dongeng yang ada di Minangkabau atau
cerita yang dikarang oleh si Tukang Kaba atau seniman yang menuturkannya. Di
dalamnya terkandung nilai moral yang dapat diambil sebagai contoh atau panutan
dalam bermasyarakat. Dari segi kesenian,
seorang seniman kaba tentu memiliki skil atau keterampilan yang matang
dalam bertutur kata, mempunyai segudang imajinasi dalam penyampaian cerita yang
dibawakan. Begitu juga pengetahuan tukang kaba dalam mengetahui beberapa
reportoar lagu yang dimainkan, bahkan tidak jarang sang seniman memasukkan lagu-lagu
pop pada saat itu dalam garapan tersendiri yang barang tentu tidak mudah kalau
seandainya musikalitas sang seniman dibilang sedikit atau “alakadarnya”. Dari
segi ilmu pengetahuan tentu saja seorang tukang kaba mempunyai ilmu yang cukup
dalam hal yang disampaikannya, seperti pengetahuannya tentang hukum adat,
norma, nasehat dan lain-lain.. Tak jarang seorang tukang kaba berbicara masalah
perekonomian suatu daerah.
Kesenian lain yang juga patut untuk
lebih dilestarikan dan diwariskan kepada generasi masa kini yaitu tradisi
berbalas Pantun yang dahulunya selalu dimainkan pada akhir musim panen oleh
semua lapisan masyarakat, tua, muda maupun anak-anak isi dari tradisi berbalas
pantun antara lain masalah nilai dan norma masyarakat, agama, budaya dan lai-lain.
Tentang hukum-hukum adat , norma dan agama di Minangkabau diuraikan lebih jelas
pada Petatah-petitih dan pidato adat yang disampaikan oleh pemuka adat yang
disebut Pangulu. Keduanya disampaikan
dalam bentuk lisan atau tradisi tutur. Hal ini tentu harus terus dibudayakan
dan dilestarikan keberadaanya, sementara generasi yang mendalaminya mulai
berkurang dan meninggalkan tradisi yang sudah ada turun temurun sejak awal
terbentuknya daerah Minangkabau, bahkan dalam acara-acara yang diadakan oleh
daerah-daerah atau pesta rakyat mereka lebih memilih mengadakan Orgen Tunggal.
Ini jelas bukan tradisi yang biasa dan lazim dalam masyarakat yang mempunyai
budaya yang kuat seperti Minangkabau. Dalam kesenian Minangkabau juga ada
bentuk lain dari tradisi tutur yaitu : Sijobang
yang saat ini dimainkan dengan menggunakan instrument kucapi (alat petik yang mempunyai tiga
buah senar), kesenian Saluang Dendang, berupa dendang atau nyainyaian lagu-lagu
tradisi yang diiringi oleh alat tiup dari bambu tipis yang disebut saluang,
kadang kala diiringi dengan gendang, Pantun, Teka-teki yang mana semuanya
berisikan tata cara bermasyarakat, norma, adat istiadat agama dan lain
sebagainya yang semuanya merupakan khasanah yang dimiliki yang dimiliki dan
harus dijaga kelestariannya bagi masyarakat Minangkabau.
Selain kurangnya minat
generasi sekarang untuk mendalami kesenian tradisi yang sudah disebutkan,
factor lain yang menyebabkan terkikisnya seni tradisi tutur adalah kurangnya
dukomentasi atas kesenian tersebut. Adapun kesenian yang di dokumentasikan
dalam bentuk transkrip, rekaman dan mungkin dalam bentuk video itu hanya
sebagian kecil yang tentu tidak seimbang dengan kekayaan tradisi yang ada dan
pernah ada, baik struktur keseluruhannya maupun bagian yang terkandung
didalamnya, baik berupa wujud, isi maupun cara pengajiannya. Seperti dalam
kasus Basijobang yang pada awal
kemunculannya hanya menggunakan kotak korek api sebagai instrument
pengiringnya, pada saat ini bisa dikatakan sulit untuk menemukan seniman penuturnya. Ini merupakan bentuknya
hilangnya satu kesenian tradisi dan satu generasi budaya yang kita punya.
Dari uraian singkat di atas tentang tradisi tutur dan
pengikisannya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya re-generasi dalam berkesenian
sangatlah perlu, apa lagi kalau kesenian itu mulai langka dan sulit untuk
ditemukan. Kemudian pendokumentasian suatu kesenian tradisi dapat menunjang
tejaganya kelestrian dari sebuah kesenian tradisi. Dalam hal ini peran serta
masyarakat dan deperteman atau instansi yang terkait dalam seni dan budaya
sangatlah dibutuhkan untuk kelangsungan kesenian tradisional di Indonesia pada
umumnya, di Minangkabau khususnya.